Keruntuhan Standar Emas dalam Era Perang Dunia I
Ini adalah pembahasan sejarah yang dapat menguatkan fondasi pemahaman mengapa Bitcoin penting bagi sistem moneter internasional masa depan.
Rangkuman tulisan ini adalah bagian dari buku karangan Saifedean Ammous berjudul The Bitcoin Standard, pada bab Government Money dengan time frame yang terbatas pada Perang Dunia I dan sebelum Perang Dunia II.
Apa Itu Government Money
Perang Dunia I juga disebut sebagai era government money. Nama umum government money adalah fiat money, dari kata latin untuk dekrit, perintah, atau otorisasi.
Terdapat 2 fakta yang harus dipahami tentang government money.
Fakta pertama, ada perbedaan yang sangat besar antara ‘government money yang dapat ditebus dengan emas’ dan ‘government money yang tidak dapat ditebus’.
Di bawah standar emas, uang adalah emas. Pemerintah hanya memikul tanggung jawab untuk ‘mencetak satuan standar dari emas’ atau ‘kertas yang dicetak yang didukung oleh emas’.
Pemerintah tidak punya kendali atas pasokan emas dalam perekonomian, dan orang dapat menebus kertas mereka dalam bentuk emas fisik kapan saja, menggunakan bentuk emas seperti batangan atau koin.
Sebaliknya, dengan government money yang tidak dapat ditebus, utang atau kertas pemerintah dapat ditingkatkan pasokannya sesuai keinginan.
Jika ada pihak yang menggunakan bentuk uang lain untuk pertukaran, atau jika mereka mencoba menciptakan lebih banyak government money, mereka akan menghadapi risiko hukuman.
Fakta kedua, bertentangan dengan apa yang mungkin tersirat dari namanya, semua government money awalnya dapat ditebus ‘dengan emas atau perak’, atau ‘mata uang yang dapat ditebus dengan’ emas atau perak.
Hanya melalui penebusan ke dalam bentuk uang yang dapat dijual, uang kertas pemerintah memperoleh daya jualnya.
Pemerintah dapat mengeluarkan dekrit yang mewajibkan orang menggunakan kertas mereka untuk pembayaran, tetapi tidak ada pemerintah yang memberlakukan hal ini tanpa kertas itu terlebih dahulu dapat ditebus dengan emas atau perak.
Pada titik ini, semua bank sentral pemerintah ‘memiliki cadangan moneter untuk mendukung nilai’ mata uang nasional mereka.
Mayoritas negara mencoba mempertahankan beberapa emas dalam cadangan mereka, dan negara yang tidak memiliki cadangan emas, punya cadangan dalam bentuk mata uang fiat negara lain, yang pada gilirannya didukung oleh cadangan emas.
Dalam era ini, tidak ada mata uang fiat murni yang beredar tanpa bentuk dukungan apa pun.
Bertentangan dengan prinsip sentral dan keliru yang paling mengerikan dari teori uang negara, bukanlah pemerintah yang menetapkan emas sebagai uang. Sebaliknya, hanya dengan memegang emaslah pemerintah bisa membuat uang mereka diterima.
Perang Dunia I: Runtuhnya Standar Emas
Government money mendapatkan kemenangannya atas standar emas dengan dimulainya perang kecil di Eropa Tengah pada tahun 1914 (hingga 1918), yang berkembang menjadi perang global pertama di sejarah umat manusia.
Ketika perang dimulai, tidak seorang pun membayangkan hal itu akan berlangsung lama, dan menimbulkan banyak korban seperti yang telah abadi dalam sejarah.
Surat kabar Inggris, misalnya, mengumumkannya perang itu sebagai August Bank Holiday War, yang berharap itu menjadi tamasya musim panas kemenangan sederhana bagi pasukan mereka.
Ada perasaan bahwa ini akan menjjadi konflik terbatas. Setelah puluhan tahun perdamaian relatif di seluruh Eropa, tampaknya generasi baru Eropa tidak tumbuh untuk menghargai kemungkinan konsekuensi dari meluncurkan sebuah aksi perang.
Saifedean Ammous menilai para sejarawan sampai hari ini masih gagal memberi penjelasan strategis atau geopolitik yang meyakinkan kenapa konflik antara Kekaisaran Austria-Hungaria dan separatis Serbia memicu perang global pertama yang merenggut nyawa jutaan orang dan secara drastis mengubah sebagian besar perbatasan dunia.
Menurut Saifedean Ammous, perbedaan utama antara Perang Dunia I dan perang terbatas sebelumnya bukanlah tentang geopolitik atau strategis, melainkan tentang moneter.
Ketika pemerintah menggunakan standar emas, mereka punya kendali langsung atas gudang emas yang besar, sementara rakyat mereka berurusan dengan kuitansi kertas dari emas itu.
Pemerintah dinilai lebih mudah ‘mengeluarkan lebih banyak mata uang kertas’ di tengah kondisi panasnya perang. Hal ini dinilai jauh lebih mudah daripada menuntut pajak yang lebih tinggi dari masyarakat.
Dalam beberapa minggu setelah perang dimulai, semua pihak utama yang berperang telah menangguhkan konvertibilitas emas mereka.
Hal itu membuat mereka secara efektif keluar dari standar emas dan menempatkan rakyat mereka pada standar fiat. Ini kondisi ketika uang yang digunakan adalah kertas yang diterbitkan pemerintah yang tidak dapat ditukarkan dengan emas.
Dengan penangguhan sederhana dari penebusan emas, dana untuk membiayai perang pemerintah tidak lagi terbatas pada uang yang dimiliki dalam perbendaharaan mereka sendiri, tetapi diperluas hampir ke seluruh kekayaan penduduk.
Selama pemerintah dapat mencetak lebih banyak uang dan uang itu diterima oleh warga dan orang asing, mereka dapat terus membiayai perang.
Sebelumnya, di bawah sistem moneter ketika ‘emas sebagai uang’ berada di tangan rakyat, pemerintah hanya punya perbendaharaannya sendiri untuk menopang upaya perang mereka, bersama dengan pajak atau obligasi untuk membiayai perang.
Hal itu membuat konflik menjadi terbatas, dan menjadi inti dari periode perdamaian yang relatif lama yang dialami di seluruh dunia sebelum abad ke-20.
‘Mencuri’ Kekayaan dari Rakyat untuk Ongkos Perang
Jika negara-negara Eropa tetap menggunakan standar emas, atau jika orang-orang Eropa memegang emas mereka di tangan mereka sendiri, dan memaksa pemerintah untuk menggunakan pajak dalam membiayai perang daripada menggunakan strategi inflasi, sejarah mungkin akan berbeda.
Kemungkinan besar, Perang Dunia I akan diselesaikan secara militer dalam beberapa bulan konflik, karena salah satu faksi mulai kehabisan dana dan menghadapi kesulitan dalam mengekstraksi kekayaan dari masyarakat yang tidak mau berpisah dengan kekayaannya untuk mempertahankan kelangsungan hidup penguasa mereka.
Namun, dengan penangguhan standar emas, kehabisan pembiayaan tidak cukup dapat mengakhiri perang. Hal itu baru bisa berhenti ketika penguasa kehabisan akumulasi dari kekayaan rakyatnya yang diambil alih melalui inflasi.
Pada akhirnya, negara-negara Eropa yang berperang dalam Perang Dunia I lebih memilih untuk mendevaluasi mata uang mereka, membiarkan perang berlanjut selama 4 tahun (1914–1918), tanpa resolusi atau kemajuan.
Kesia-siaan ini, di sisi lain membuat para prajurit yang berada di garis depan mempertaruhkan hidup mereka tanpa alasan yang jelas, dan hanya untuk kepentingan yang mungkin terbatas pada elit mereka saja.
Terjadi momen menarik dan populer, ketika tentara Prancis dan Inggris yang satu kubu (Kubu Sekutu termasuk dengan Serbia hingga Rusia) bersama tentara Jerman (tergabung dalam Blok Sentral bersama Austria-Hungaria, Bulgaria, hingga Ottoman Turki) berhenti mengikuti perintah untuk berperang pada malam natal 1914. Mereka meletakkan senjata dan melintasi garis pertempuran untuk berbaur dan bersosialisasi bersama, serta bermain bola.
Saifedean Ammous mau menunjukkan bahwa fakta mencengangkan ini adalah petunjuk bahwa mereka yang ada di garis depan tidak punya apa-apa terhadap satu sama lain; tidak dapat keuntungan apa pun dari berperang; dan tidak melihat alasan untuk melakukannya.
Setelah momen itu, perang terus berlanjut selama 4 tahun lagi dengan hampir tidak ada kemajuan, sampai Amerika Serikat (AS) melakukan intervensi pada tahun 1917 dan mendukung Kubu Sekutu.
Ketika semua pemerintah mendanai mesin perang mereka dengan inflasi, Jerman dan Austria-Hungaria mulai mengalami penurunan serius dalam nilai mata uang mereka dibandingkan dengan Franc Swiss pada 1918. Ini membuat kekalahan mereka tidak terelakkan.
Setelah perang mereda, mata uang dari semua kekuatan utama Eropa pun telah menurun nilainya.
Nasionalisme Moneter
Saat perang berakhir, sistem moneter internasional yang berputar di sekitar standar emas tidak lagi berfungsi. Semua negara telah kehabisan emas dan harus menghadapi dilema utama apakah mereka harus kembali ke standar emas, dan jika demikian, bagaimana merevolusi mata uang mereka dibandingkan dengan nilai emas.
Penilaian pasar yang adil atas ‘stok mata uang negara yang ada’ terhadap ‘stok emas negara yang ada’ akan menjadi pengakuan yang sangat tidak populer atas depresiasi yang dialami oleh mata uang pemerintah.
Kembali ke nilai tukar lama akan menyebabkan warga negara meminta untuk memegang emas daripada kuitansi kertas dari pemerintah yang ada di mana-mana, dan menyebabkan pelarian emas keluar negeri.
Dilema ini lantas merenggut uang dari pasar dan mengubahnya menjadi keputusan ekonomi yang dikontrol secara politik.
Alih-alih para pelaku pasar dengan bebas memilih barang yang paling laku dijual sebagai alat tukar, nilai, penawaran, dan suku bunga; uang kemudian direncanakan secara terpusat oleh pemerintah nasional, menjadi sebuah sistem moneter yang dinamai ekonom Friedrich Hayek sebagai Nasionalisme Moneter.
Dalam nasionalisme moneter, tidak akan pernah lagi emas kembali menjadi mata uang homogen dunia. Dengan posisi monopoli bank sentral dan pembatasan kepemilikan emas di suatu negara, hal itu memaksa masyarakat untuk menggunakan uang pemerintah nasional.
Pengenalan Bitcoin, sebagai mata uang asli internet (dengan jumlah terbatas 21 juta Bitcoin) yang mengabaikan sekat batas negara dan di luar kendali pemerintah, menawarkan kemungkinan yang menarik untuk munculnya sistem moneter internasional baru.
Peralihan dari Standar Emas Menuju Inflasionisme
Sebagai catatan, di bawah standar emas internasional, uang mengalir bebas antar negara dengan imbalan barang. Nilai tukar antar mata uang yang berbeda hanyalah konversi antara berat emas yang berbeda.
Namun, di bawah nasionalisme moneter, pasokan uang masing-masing negara dan nilai tukar di antara mereka, harus ditentukan dalam perjanjian dan pertemuan internasional.
Jerman menderita hiperinflasi setelah Perjanjian Versailles (perjanjian damai pada 1919 yang secara resmi akhiri Perang Dunia I) memberlakukan reparasi besar dan berusaha membayarnya dengan menggunakan inflasi.
Inggris juga punya masalah besar dengan aliran keluar emas ke Prancis dan AS. Hal ini terjadi karena mereka berusaha mempertahankan ‘standar emas tetapi dengan tingkat yang dinilai terlalu tinggi terhadap pound sterling Inggris dan emas yang undervalued’.
Perjanjian besar pertama abad nasionalisme moneter adalah Perjanjian Genoa pada 1922. Menurut ketentuan perjanjian ini, dolar AS dan pound sterling Inggris dianggap sebagai mata uang cadangan yang serupa dengan emas dalam posisi mereka di cadangan negara lain.
Dengan langkah ini, Inggris berharap untuk mengatasi masalahnya dengan meminta negara lain membeli pound sterling dalam jumlah besar untuk disimpan dalam cadangan moneter mereka.
Hal ini membuat negara-negara besar dunia mengisyaratkan peralihan mereka dari solidaritas standar emas menuju inflasionisme sebagai solusi untuk masalah ekonomi.
Kegilaan dari pengaturan ini adalah bahwa pemerintah-pemerintah ingin melakukan inflasi sambil mempertahankan harga mata uang mereka tetap stabil terhadap emas seperti emas pada tingkat sebelum perang.
Tesisnya adalah, jika setiap orang mendevaluasi mata uang mereka, tidak akan ada tempat untuk menyembunyikan modal. Namun, tetap saja, emas nyatanya terus mengalir keluar dari Inggris ke AS dan Prancis.
Ketika Prancis dan Jerman tidak kooperatif, pihak AS setuju untuk terlibat dalam kebijakan moneter inflasi itu sepanjang tahun 1920-an.
Hal itu mungkin berhasil mengurangi arus keluar emas dari Inggris sampai titik tertentu. Namun, implikasi yang paling penting adalah, bahwa hal itu menciptakan masalah sendiri bagi AS yang lantas terakumulasi dalam Great Depression (sekitar 1929–1939).
AS Melarang Kepemilikan Emas
Great Depression AS dinilai tidak mungkin terjadi dengan uang sehat seperti dalam standar emas, dan hanya melalui penggelembungan jumlah uang beredar masalah itu dapat terjadi.
Menariknya, ekonom pada zaman itu memutuskan bahwa kesalahan bukan pada inflasionisme, melainkan pada standar emas yang membatasi inflasionisme pemerintah.
Untuk menghilangkan belenggu emas terhadap inflasionisme, Presiden AS Franklin D. Roosevelt mengeluarkan perintah eksekutif pada 1934 yang melarang kepemilikan pribadi atas emas, memaksa orang AS menjual emas mereka ke Kementerian Keuangan AS dengan tarif US$20,67 per 1 ons emas.
Dengan populasi yang kekurangan uang sehat dan dipaksa untuk berurusan dengan dolar AS, Presiden Roosevelt kemudian merevaluasi dolar AS di pasar internasional dari US$20,67 per 1 ons emas menjadi US$35 per 1 ons emas. Di sini terjadi devaluasi nilai dolar secara riil terhadap emas.
Ini dinilai sebagai realitas yang tidak terhindarkan dari tahun-tahun inflasionisme yang dimulai pada akhir 1913 dengan pembentukan The Fed dan pembiayaan keuangan masuknya AS ke dalam perang dunia II (1939–1945).
Momen-momen di atas juga dinilai sebagai mulai ditinggalkannya uang sehat dan penggantinya dengan fiat yang dikeluarkan pemerintah, yang mengubah ekonomi dunia menjadi kegagalan yang direncanakan secara terpusat dan diarahkan oleh pemerintah.
Kritik untuk Pandangan Keynesian
Karena pemerintah mengendalikan uang, mereka pun mengendalikan sebagian besar aktivitas ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan.
Saifedean Ammous menilai, karena tidak pernah mempelajari ekonomi atau menelitinya secara profesional, John Maynard Keynes (hidup 1883–1946, terkenal dengan teori ekonomi makro Keynesian) menangkap zeitgeist (semangat zaman) untuk memberi pemerintah apa yang ingin mereka dengar.
Hal ini dinilai membuat hilang sudah semua dasar pengetahuan ekonomi yang diperoleh selama berabad-abad dalam penelitian di seluruh dunia, yang lantas digantikan dengan keyakinan baru dengan preferensi waktu yang tinggi (mementingkan kebutuhan instan daripada jangka panjang) dari politisi dan pemerintah totaliter.
Sebagai akibatnya, rumus dari keadaan ekonomi ditentukan oleh pengungkit pengeluaran agregat, dan setiap kenaikan pengangguran atau penurunan produksi tidak disebabkan oleh struktur produksi atau distorsi pasar oleh perencanaan pusat, melainkan itu semua adalah karena kekurangan pengeluaran, dan obatnya adalah perusakan mata uang dan peningkatan pengeluaran pemerintah.
Menabung dinilai mengurangi pengeluaran dan karena pengeluaran adalah yang terpenting, pemerintah harus melakukan semua yang dapat dilakukan untuk mencegah warganya menabung.
Pemerintah menyukai pesan ini, dan Keynes sendiri tahu itu. Buku Keynes juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1937, pada puncak era Nazi. Dalam pengantar edisi Jerman, dia menulis:
“Teori produksi agregat, yang menjadi inti dari buku ini, bagaimanapun dapat lebih mudah disesuaikan dengan kondisi-kondisi negara totaliter daripada teori produksi dan distribusi produksi tertentu yang dikemukakan dalam kondisi persaingan bebas dan tingkat laissez-faire yang tinggi.”
Di sini, Saifedean Ammous mengkritik peran akademik yang justru menjadi kepanjangan tangan dari penguasa.
Great Depression Penyimpangan dari Standar Emas
Tradisi liberal klasik yang memandang kebebasan ekonomi sebagai dasar kemakmuran ekonomi, diam-diam dikesampingkan oleh para propagandis pemerintah yang menyamar sebagai ekonom yang menghasilkan Great Depression (yang dipicu dan diperparah oleh kontrol pemerintah).
Saifedean Ammous menilai kurikulum ekonomi yang disetujui oleh pemerintah, saat ini masih menyalahkan standar emas atas terjadinya Great Depression.
Standar emas yang sama itu yang menghasilkan lebih dari 4 dekade pertumbuhan dan kemakmuran global hampir tanpa gangguan antara tahun 1870 dan 1914, tiba-tiba berhenti bekerja pada tahun 1930-an karena tidak mengizinkan pemerintah untuk memperluas pasokan uang mereka untuk melawan Great Depression.
Tidak satu pun dari para ekonom yang mendukung pemerintah tampaknya memperhatikan bahwa jika masalahnya memang standar emas, maka penangguhannya seharusnya menyebabkan dimulainya proses pemulihan. Namun sebaliknya, butuh lebih dari satu dekade (periode Great Depression 1929–1939) setelah penangguhan standar emas untuk melanjutkan pertumbuhan ekonomi.
Saifedean Ammous menyimpulkan bahwa, siapa pun yang memiliki pemahaman dasar tentang uang dan ekonomi, akan mengetahui bahwa penyebab dari Great Depression adalah penyimpangan dari standar emas pada tahun-tahun pasca Perang Dunia I. Selain itu, Great Depression yang semakin parah disebabkan oleh kontrol pemerintah dan sosialisasi ekonomi dari pemerintah pada waktu itu.
Baik penangguhan standar emas maupun pengeluaran untuk perang tidak melakukan hal apa pun dalam meringankan penderitaan Great Depression.
Kondisi Ekonomi-Politik Pemicu Perang Dunia II
Ketika ekonomi utama dunia keluar dari standar emas, perdagangan global menjadi lebih rumit.
Dengan tidak adanya standar nilai untuk memungkinkan adanya mekanisme harga internasional, dan dengan sejumlah pemerintah yang semakin dikuasai oleh dorongan politik statis dan isolasionis, manipulasi mata uang muncul sebagai alat kebijakan perdagangan, dengan negara-negara berusaha mendevaluasi mata uang mereka untuk memberikan eksportir keuntungan.
Semakin banyak hambatan perdagangan didirikan, dan nasionalisme ekonomi menjadi etos era itu, konsekuensinya adalah lahirnya sebuah bencana baru yang dapat diprediksi.
Negara-negara yang makmur bersama 40 tahun sebelumnya, berdagang di bawah satu standar emas universal, kemudian memiliki sistem moneter dan hambatan perdagangan yang besar di antara mereka.
Di sisi lain, para pemimpin populis yang lantang menyalahkan semua kegagalan mereka kepada negara lain, dan gelombang nasionalisme penuh kebencian segera memenuhi ramalan ekonom Otto Mallery (1881–1956).
“Jika tentara tidak boleh melintasi batas internasional, barang-barang perdagangan harus melakukannya. Kecuali jika belanggu dapat dijatuhkan dari perdagangan, bom akan dijatuhkan dari langit.”